Kisah Kasih Duniamu

"…apalah arti sebuah kisah bila tidak ada kasih di dalamnya…"

dua bulan di ujung dunia Lala

Baru saja ku sandarkan badan pada bantal bututku ketika ku dengar ribut-ribut di rumah induk semangku. Ku langkahkan kakiku dengan rasa ingin tahu. Dalam keremangan malam,ku lihat pak Marjan berdiri kaku menatap ke luar pagar, rokoknya digigit sempurna. Sesekali matanya menatap arloji ditangan kanan. Tampak ketegangan bercampur cemas di matanya.
Lalu tiba-tiba muncul Ditto
“ Di rumah mbak Silvi ga ada Yah” Ditto si bungsu memberikan laporan
“ Kau sudah Tanya mbak Silvi, apa dia tau kemana mbak Lala?” sambut pak Marjan
“ Sudah ayah.. tapi mbak Silvi juga gak tau “ anak 10 tahun itu merasa pekerjaannya tak mendatangkan hasil, tampak raut kecewa di wajahnya.
“ Ya sudah kamu mandi, lalu sholat magrib”, perintah pak Marjan, “ Siapa tau mas Tito tau kemana mbak Lala” sambungnya. Tito si sulung, tentu punya tanggung jawab lebih besar dibanding Ditto. Aku mulai sedikit mengerti, rupanya Lala si anak tengah dan satu-satunya wanita di rumah ini, belum pulang.
Tapi untuk memastikan…
“ Ada apa Yah..”, tanyaku. Walau Cuma ngekost, aku tetap memanggilnya dengan sebutan Ayah. Itu juga atas permintaan pak Marjan.
“ Oh.. kau Lang”, dia menolehku sebentar, lalu kembali menatap keluar pagar “ ini si Lala.., gak biasanya tanpa kabar, mana sudah lewat magrib pula”
“ Tumben Lala gak ngasih kabar, biasanya kalau terlambat pasti ngubungi”, gumamku
“ itulah..”, sesal pak Marjan, “ kenapa si Lala ini..”, hembusan nafasnya terasa berat.
“ Ya udah… Ayah shalat magrib dulu, tadi tak sempat gara-gara mikirin Lala”, pamitnya sambil berlalu.
Aku yang tak tahu berbuat apa akhirnya kembali ke paviliunku. Aku lelah setelah melakukan ekspedisi pendakian selama 1 minggu. Sebenarnya target kami 5 hari, namun dalam perjalanan molor jadi 7 hari.
Kusandarkan lagi badanku ke bantal, ku nikmati betul saat-saat seperti ini, ku tarik nafasku dalam-dalam untuk memenuhi rongga-rongga dadaku, lalu ku keluarkan berlahan, huuuagh..

***
Jadi Lala belum pulang batinku, teringat kembali kejadian tadi. Pantas.. terasa sepi ketika ku pulang. Biasanya jika aku pulang dari pendakian, ia akan antusias menyambutku. Menurunkan carrielku walau berat untuk ukuran gadis kelas 3 SMA, mengambilkan minum, menggantung jaketku, menaruh sepatuku yang baunya lumayan parah dan terakhir membawakan handuk menyuruhku mandi. Sambil melakukan semua itu, mulutnya tak pernah berhenti berceloteh. Banyak sekali pertanyaannya. Kadang aku kewalahan menjawab pertanyaan yang tadi ia tanyakan atau menjawab pertanyaan yang baru saja ia ungkapkan. Ia begitu iri dengan ketinggian yang ku daki, kesegaran hawa yang ku hirup, kepekatan malam yang ku lihat. Ia iri dengan dingin, angin, api, bintang, bulan, coklat hangat dan rokok. Ia selalu berkata, kalau aku laki-laki, aku akan lebih tinggi mendaki agar udara yang ku hirup lebih segar, agar malam yang ku lihat lebih pekat. Akan lebih dingin, lebih besar angin berhembus, lebih besar api dihidupkan, lebih bertabur bintang, lebih besar melihat bulan, lebih panas minum coklat hangat, dan lebih kuat mengisap rokok. Itu mimpi Lala. Ia begitu ingin merasakan yang ku ceritakan.
“ kenapa, harus jadi laki-laki untuk mendaki gunung” tanyaku suatu ketika
“ karena pak kumis itu tak akan mengizinkan anaknya ini terjun menentang bahaya” jawabnya menjuluki pak Marjan.
Jadilah ia penikmat semua cerita-ceritaku, ia begitu menggagumi kerinduan ku akan kebebasan di alam. Aku bilang padanya, dari puncak gunung kita seakan berada di ujung dunia. Ia suka ceritaku tapi tak pernah mau mengalah dengan impiannya.

***
“Hallo.., Nindy ?” tiba-tiba lamunanku buyar ketika mendengar suara berat pak Marjan
“ Ada Lala di rumah ?” hening sesaat “ Oh ya.. makasih kalau begitu “
Pastilah pak Marjan mulai menghubungi teman-teman Lala yang ia kenal. Kulihat jam di dinding, pukul 20.12. Lala… Lala… kok kamu bisa-bisanya buat repot bapakmu itu. Bapakmu itu sayang banget dengan dirimu. Walaupun caranya kaku dan omongannya sepotong-sepotong, tapi dari matanya aku tau rasa sayangnya tak terhingga untuk kamu. Matanya bagai bintang yang bersinar, terang tapi tidak menyilaukan, bersinar namun menyejukkan. Mungkin itu kenapa kau sangat suka dengan bintang. Wajar bila tiba-tiba kau mengetuk pintu paviliunku hanya untuk minta di temani melihat bintang.
“ Langitnya.. bersih banget mas “ ucapmu, gak peduli kalau aku ngantuk berat. Lalu aku akan mengeluarkan matrasku, 2 buah, satu untukmu dan satu lagi untukku. Ku bawa juga sleeping bagku, 1 buah, Cuma untuk kamu, untukku cukup sarung peninggalan bapak. Ku matikan lampu teras. Ku hamparkan matras di alam terbuka, Lalu kita tidur memandang bintang, agak aneh memang, tapi orang-orang dirumah sudah paham kelakuan anehmu. Malah kadang Ditto ikut berkumpul, biasanya ia di tengah, miring kearahmu, jika kantuknya datang, ia akan tertidur dalam pelukanmu. Ditto rindu figur ibu. Tito juga kadang bergabung, itu jika ia pulang malam, usai ngeband dengan rekan-rekannya. Ia akan memasukan motor, mengambil kursi dan duduk tengadah memandang bintang. Kita semua tak banyak bicara. Kita larut dalam khayal masing-masing. Hening… dalam gelap. Hingga akhirnya “ To.. To.. bangun.. itu adikmu pindahkan ke dalam “ suara pak Marjan memecah keheningan, biasanya kalian semua telah tertidur, hanya aku yang terus terjaga dalam mimpi. Dengan setengah mengantuk Tito akan mengangkat Ditto, tampak raut Ditto meringgis ketika di lepaskan dari tubuh Lala. Ditto butuh dekapan ibu. Aku terduduk dan menggerak-gerakkan badanku, terdengar bunyi tulang bergemeretak. Pak Marjan akan mengangkat Lala, badannya yang kekar tampak tak kesulitan. Lala begitu lelah, ia tak sadar telah dalam pelukan ayahnya. Sebelum berlalu ke dalam pak Marjan pernah berkata
“ Dia seperti ibunya.., bebas dan suka bahaya, aku tak akan melakukan kesalahan dua kali”, ucapnya. Suara itu begitu berat, tekanannya begitu dalam, ada luka, khawatir, cinta, dan kerinduan di dalamnya. Aku tak berani bertanya. Sama ketika aku tak berani menanyakan mengapa tak ada foto seorang ibu di rumah ini.

***

Suara motor.. mendominasi keheningan di rumah ini, aku berjalan menuju suara.
Pak Marjan langsung keluar, Ditto mengikuti di belakangnya
“ Gimana To ?” Tanya pak Marjan tak sabar
Tito menggeleng
“ Udah Tito cari kemana-mana Yah”, kata tito lelah “ Ga ada yang tahu”
“ Ke rumah mbah Janah juga udah?” sambung Pak Marjan,
Tito mengganggukan kepala
“ Aduh kemana si Lala ini “ nada putus asa bercampur cemas mulai terasa dalam ucapan itu
“ Tito juga bingung yah… ga tau mesti nyari kemana lagi, perasaan semua tempat yang Tito tau, udah Tito kunjungi”, Ini juga nada putus asa
“ Iya ayah juga bingung mau nyari kemana lagi.., tapi kita tak boleh putus asa” kata-kata pak Marjan menguatkan
“ Iya yah.. Tito juga akan terus cari walau mesti ke ujung dunia” balas Tito
Ujung dunia ?
Pak marjan tersenyum miris mendengar perkataan Tito
“ Istirahatlah dulu, mandi terus makan, nanti kita cari ramai-ramai” katanya mencoba tegar
Ujung dunia ?.. ku remas rambutku mengingat sesuatu, sulit.., kutarik rambutku ke belakang berharap otak kecilku mengangkat memori yang terpendam, kepalaku tertengadah jadinya, terlihat langit gelap, bintang tampak satu-satu, tapi bulan bulat sempurna. Bulat sempurna..?
Ujung dunia…, ya sepertinya aku tau dimana itu
“Ayah.. sepertinya saya tau kemana Lala” ucapku tiba-tiba
Sontak ketiga ayah anak itu menatap kepadaku
“ Benar ayah.. saya pikir saya tau kemana Lala”, kataku meyakinkan “ Agar pasti biar saya lihat dulu” lanjutku
“ Kamu yakin ?“ Tanya pak Marjan kaget campur harap
“ Iya mas, mas tau ? sambung Tito
“ InsyaAllah perkiraanku tidak meleset “ kataku bersemangat “ To.. aku pinjam motormu” pintaku tak sabar. dalam kebingungan Tito menyerahkan kontak motornya. Sempat ku ambil jaket kulitku.
“ Ayah aku pergi dulu “ kataku sambil menghidupkan mesin. Kupakai helm, kuputar arah motor, dan melajulah kuda mesin itu. Sayup masih ku dengar suara Ditto “ Hati-hati mas..”

***
“ Mas.. itu rasi sagitarius, itu bintangku” kata Lala tanpa memandang ke arahku, telunjuknya sibuk menghubung-hubungkan bintang dengan garis khayal. Aku yang berada di sebelahnya sibuk mengikuti arah telunjuknya. Malam itu penuh bintang. Aku tak tau mana bintang yang ia maksud.
“ Dapat ga mas ? “ tanyanya
“ Ga.. perasaanku kok titik-titik biasa aja, ga ada gambar kudanya” jawabku polos
“ Eeh.. pakai imajinasi dong mas, kalau mau di cari kudanya, sampai lebaran monyet juga gak akan ketemu” ucapnya kesal “ Ikutin nih, itu.., itu,..kesitu, itu, tarik kesitu, itu, itu, terus balik lagi, jadi deh” bimbingnya
Ada beberapa kali ia mencontohkan, akhirnya dengan usaha yang keras, itupun karena nada suara Lala sudah mulai kesal, aku mulai bisa membayangkan ada kuda terbang di langit. Hanya aku belum tau mengapa begitu banyak kakinya. Ingin ku tanyakan, tapi tak tega karena ia begitu senangnya.
“ Mas Elang.., tau gak?, kata orang buntut kuda itu menunjuk kepada ujung dunia”
“ Gak.. aku baru tau kalau ada ujung dunia” jawabku jujur
“ Ada mas.., makanya jangan kesibukan naik gunung terus” kata Lala meyakinkan
“ Kalau ada, dimana ujung dunia itu” tanyaku
“ Sekarang Lala belum tau, tapi dengan petunjuk buntut sagitarius, Lala akan menemukan ujung dunia”. Jawabnya yakin.

***
Pada kesempatan yang lain, masih di bawah taburan bintang
“ Eh.. mas tau gak?” Tanya Lala bersemangat
“ Apaan La ?” jawabku sedikit kaget
“ Lala udah nemuin salah satu ujung dunia” katanya yakin
“ Oh iya La “ responku tak ingin mengecewakan semanggatnya, “ di mana ? “, tanyaku lagi
“ Di sini di Bengkulu… mas gak pernah nyangka kan” ujarnya bangga
“Oh kalau begitu.., Lala kapan-kapan ajak mas ya ?” pintaku berharap
“ Ga boleh mas.., seseorang harus menemukan sendiri ujung dunianya” tolak Lala
“Terus gimana dong, sagitariuskan masih 6 bulan lagi munculnya” protesku sekenanya
“ Ha..ha..ha.. jadi sekarang cuma Lala yang bisa nikmati ujung dunia” tawanya senang
“ Ayo dong La” rayu ku sambil menoleh padanya
“ Ga !”
“ La”
“Ga !”
“La…!” , nadaku pura-pura mengancam
“ Pokoknya ngga !”, teriaknya lucu
Aku yang mulai gemas, mendaratkan tanganku di pinggangnya
“ Huaaaagh… !”, tawanya gelinya tertahan dengan gelitikku
“ Ibu…! Mas elang nakal” ,pekiknya. Ibu ?
“ Kasih tau gak “ ancam ku
“ Ngga…. Hwaw…” , pekiknya lagi
“ Kasih ngga…” , kataku terus menggelitik
“ Iya… iya.. iya…”, matanya sudah berair, nafasnya memburu, ia memang tak tahan digelitik
“ Janji “
“ Iya janji”, barulah ku lepaskan tanganku
“ Wuh.. curang “ ,umpatnya
“ Eits.. janji tetap janji” ucapku sambil bersiap dengan jariku
“ Iya..iya..”
Lala menyandarkan lagi badannya, matanya tajam memandang bintang
“ Mas.. ujung dunia itu ada dimana daratan terbentang hingga tak tau batasnya, angin berhembus sebebasnya, lalu matahari bersinar dengan kuatnya” , Lala seperti berbicara dengan dirinya sendiri , “ Mas tau ngga… di ujung dunia, kita bisa melihat 2 bulan, itu Lala belum lihat, tapi Lala yakin, Lala akan lihat 2 bulan di ujung dunia”

***
Sekarang bulan purnama
Ku pacu motor ini dengan kecepatan yang ku mampu.
Sebenarnya jarak ujung dunia tidak begitu jauh, apalagi di malam yang mulai sepi. Namun aku membutuhkan waktu yang lumayan untuk mencapainya. Ku rasakan hembusan angin begitu deras menerpaku ketika aku memasuki kawasan Tapak Paderi. Lala kamu di mana batinku. Tampak benteng Marlborough berdiri dengan sombongnya, ku putar motorku menyisiri jalan-jalan di pinggiran kawasan wisata ini. Asap jagung bakar ikut menemani pencarianku. Aku belum makan. Lama ku susuri hingga akhirnya aku tersadar, angin ini berhembus kencang, dingin menusuk, namun untunglah aku terlindung bangunan-bangunan di kanan-kiriku. Tapi itu berarti aku mencari ditempat yang salah. Ku maki diriku sendiri. Di ujung dunia angin bisa berhembus dengan kencangnya.

Ku pacu motorku lagi, untunglah Tapak Paderi tidak begitu jauh dengan ujung dunia. Tapi tetap saja aku memerlukan beberapa waktu. Hingga Akhirnya .. SELAMAT DATANG DI KAWASAN WISATA PANTAI PANJANG.

Ku susuri jalan raya di pantai panjang, untunglah aku masuk dari arah Tapak Paderi, hingga aku tak khawatir bakal ada yang terlewatkan. Mataku awas memandang pantai.
Ya Lala benar… ini adalah salah satu ujung dunia, jika kau lihat ke arah laut maka pada titik terakhir matamu akan melihat batas dunia. Disini angin berhembus begitu kencang, daratan terbentang luas, dan aku yakin jika siang sinar matahari akan menyirami seluruh bagian ujung dunia ini . Ku lihat arlojiku, pukul 23.10. sudah malam, keluarga pak Marjan pasti khawatir.
Apa yang dilakukan Lala malam seperti ini. Aku juga mulai cemas. Cemas dengan resiko kejahatan yang sering terjadi di pantai panjang. Memang ada pos polisi. Tapi dengan begitu panjangnya pantai ini tentu resiko akan tetap ada. Ku percepat motorku.., mataku terus awas memandang pantai. Untunglah bulan purnama, bayangan orang di pantai terlihat tampak jelas. Sesekali ku lihat dua orang asik diatas motor dalam rerimbunan cemara. Aku tidak mencari dua tapi satu.

***
Dan akhirnya.. ku lihat bayangan seseorang ditepi pantai tak jauh dari pos polisi. Aku yakin itu bayangan perempuan. Rambutnya terurai oleh angin dan tertangkap sinar bulan. Ku hentikan motorku. Ku dekati dengan harap-harap cemas. Cemas benar tidaknya yang ku cari, cemas akan bahaya yang mengancam. Tak jauh dari bayangan perempuan itu, ku lihat dua pria bercengkrama sambil sesekali memandang perempuan di tepi pantai .

Ku langkahkan kakiku, tergesa. Tanah pasir tampak terasa lembut menarik sepatuku, makin mendekati pantai, pasir yang ku injak semakin kokoh. Angin makin kencang bertiup, terasa lengket begitu menyentuh pipiku. Ombak putih mulai terasa ganasnya, dentumnya menggelegur. Airnya mulai membasahi telapak sepatuku.Tinggal beberapa langkah lagi, dari samping aku yakin dia perempuan yang ku cari. Ku yakinkan.
“ Lala ! “, pekikku bersaing dengan suara angin dan ombak
Kepalanya menoleh, jantungku berdegup, matanya memastikan, hatiku tenang.
“ Mas Elang “ ,teriaknya, ia berlari ke arahku, wajahnya sangat ceria, ia begitu gembira. Lala melompat memelukku, tampak kebahagian memenuhi wajahnya.
“ Lala yakin… mas Elang bisa menemukan ujung dunia sendiri” , pekiknya senang. Badannya terasa dingin. Ku lepaskan jaketku. Ku rapatkan di tubuhnya.
“ Mas.. bulannya dua “, kebahagiannya begitu pilu. Jarinya menunjuk ke laut. Mataku mengikuti telunjuknya. Kini tak perlu waktu lama. Aku paham maksudnya. Badan Lala sudah menggigil, aku yakin ia belum makan. Aku ingin berlama-lama menemaninya di ujung dunia. Tapi ia harus cepat pulang. Bukan karena keluarga pak Marjan sudah menunggu, namun badannya sudah mulai lemah.
“ Lala.. ayo kita pulang “, ajakku
“ Mas Elang.., bulannya dua”, jawabnya tak memedulikan ucapkanku, tangannya menunjuk ke arah laut
“ Lala..!” , tekanku sambil memegang wajahnya, matanya beradu dengan mataku, mataku lebih tajam, aku Elang.
tampak bulir-bulir dimatanya.. , makin deras, ia menanggis, suaranya tersendat, ia menjatuhkan kepalanya didadaku, isaknya mampir di telingaku. Isaknya tersendat namun nadanya teratur. Ia tetap perempuan tegar, tangisnya hanya untuk membuang beban. Menangislah La.. menangislah di ujung dunia. Disini tangismu takkan terdengar, angin dan ombak akan menyamarkannya. Aku tak tahu hingga berapa lama, namun tiba-tiba..
kurasakan langkah kaki mulai mendekati kami, terasa terus mendekat, dua orang. Lala masih larut dengan isaknya. Aku tak mau mengganggunya. Namun naluri bahayaku mulai berbunyi. Lala masih erat memelukku. Aku tak mau mengganggunya. Bahkan untuk sekadar membalikan badan agar aku tau siapa yang mendekati kami. Ku biarkan saja jantungku berdegup dalam ketidaksiapanku menghadapi bahaya, sejujurnya aku mulai menikmati ketakutan ini. Hingga akhirnya..

***

“ Dek.. Lala, sekarang sudah pukul 23.30, tadi janjinya sampai pukul 23.00 loh”,
Lala mengangkat wajah, menghapus air mata, dan dengan tersenyum
“ Oh.. iya maaf pak” ,ucapnya dengan nada yang di ceriakan. Aku membalik badanku
“ Ya udah .. ini hampir tengah malam, sebaliknya dek Lala pulang, ini jemputannya udah datang kan”, katanya menunjuk kearah ku. Aku tersenyum menyapa mereka.
“ La.. ayo kita pulang”, ajakku lagi, Lala memandangku, “ Ya, bulannya dua”, ucapku meyakinkan. Ia mengangguk. Ku rangkul tubuhnya.
“ Mari pak kami permisi pulang dulu “, pamitku
“ Oh ya.. silakan “ ,jawab mereka ramah.
“ Mari pak polisi ya… jangan kapok dengan Lala”, pamit Lala dengan nada yang tetap ceria.
Kedua polisi itu hanya geleng-geleng kepala. Untunglah Lala bisa berpikir logis. Sebelum ke pantai dunianya ia masih sempat minta perlindungan di pos polisi.
***
Ku hidupkan mesin motor, Lala naik dibelakang. Tubuhnya erat memelukku. Angin laut bertiup kencang. Ku rasakan basah dibahuku. Lala menangis lagi. Kerinduannya begitu dalam. Ku lajukan motorku secepat yang ku bisa. Tampak cemara pantai berkejar-kejaran. Ombakpun tak mau kalah. Pantai panjang tampak terang dengan sinar bulan. Terang di atas dan terang di bawah. Ketika kami melewati pantai yang tak di tumbuhi cemara, tanpa sadar ku lambatkan laju motor, ku tolehkan mukaku ke laut, tampak lebih luas, di kejauhan ku lihat 2 bulan.
“ Mas.. bulannya dua “ , bisik Lala lirih. Rupanya ia tau yang sedang ku nikmati
“ Ehm “, balasku, aku hanya bisa berdehem
“ Lala, ingin dua bulan, bulan udara dan bulan air” pintanya semakin lemah. Aku yakin ia mulai demam. Nafasnya hangat menembus bajuku.
“ Mas., Lala ingin 2 bulan” suaranya semakin lirih
Ku pacu motorku secepatnya, aku ingin cepat sampai. Maafkan aku Lala, aku tak bisa memberimu 2 bulan. Bukan tak mau, tapi tak bisa. Aku tak bisa menggantikan, ibumu..

Bengkulu, 27 Februari 2009

Sumber: http://www.cerita-pendek.com

23 Mei 2011 - Posted by | Cerita, Keluarga, Keluarga, Renungan

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar