Kisah Kasih Duniamu

"…apalah arti sebuah kisah bila tidak ada kasih di dalamnya…"

lia natalia (bab 2)

Novel By Saut Poltak Tambunan

Sambungan dari Bab 1

Bab 2
BELUM pukul enam hari Minggu pagi, Lia sibuk didapur untuk menyiapkan sarapan. Tahu-tahu Burhan muncul ke dapur sudah lengkap dengan pakaian olah raga.
” Ayuh, cepat. Nanti saja itu,” kata Burhan. “Aku sudah siap, ‘nih.”
“Sebentar, Bang, tanggung. Aku juga tinggal ganti baju ‘kok. Aku sudah mandi.”
“Tinggalkan saja itu. Nanti kita jogging sambil cari bubur ayam si Lie Tek di dekat pajak situ,” desak Burhan lagi. Orang di Medan menyebut pasar dengan kata pajak. “Aku nggak mau jogging terlalu siang panas.”
“Ya, ya. Aku ganti baju sebentar,” sahut Lia akhirnya tidak jadi membuat sarapan pagi.
Lia bergegas ke kamar untuk ganti baju olah raga.Dari balik tirai jendela ia melihat si Jonggi
Sedang menuntun dua adiknya yang masih kecil. Berangkat jalan kaki ke Sekolah Minggu. Jonggi itu anak ibu Sinaga – tetangga di ujung jalan.
Lia jadi teringat Rudy. Seperti itulah Rudy dulu Lia dan Mary ke Sekolah Minggu. Kadang Rudy marah lalu menarik tangan Mary dengan kasar, karena adiknya itu terlalu pesolek. Gayanya melangkah pun diatur-atur sehingga jalannya jadi lambat.
Tiba-tiba Lia kepingin ke gereja.Sudah lama sekali ia tidak ke gereja. Ia melirik ke arah jam dinding, masih jam enam. Masih keburu kalau mau ikut kebaktian jam tujuh.Tapi bagaimana ? Burhan sudah terlanjur siap-siap mau jogging. Biasanya dia mau mengantarkan ke gereja lalu nanti menjemput pulangnya.
Lia tidak tega minta Burhan membatalkan niatnya untuk olah raga pagi ini. Ia putuskan untuk naik becak mesin saja ke gereja.
“Bang, aku boleh minta maaf, nggak?” kata Lia kemudian menemui suaminya itu di depan garasi, sedang melakukan senam pemanasan.
“Kau belum siap. Ada apa?”
“Aku mau ke gereja saja. Sudah lama aku nggak ke sana.”
“Lha, kau ini bagaimana sih ? Masa’ mendadak mau ke gereja ?” tukas Burhan heran, setengah protes. “Nggak tahu ‘tuh. Tiba-tiba saja.Mungkin karena lihat orang-orang berangkat kegereja.”
“Ya, sudah, cepatlah. Nanti aku antarkan.”
“Oh, nggak usah. Abang pergi saja jogging. Kunci rumah bawa satu. Nanti aku naik becak saja.” “Kau bawa mobil saja sendiri,” usul Burhan.
“Nggak apa-apa, aku mau naik becak saja, lebih praktis.”
Burhan setuju. Ia pamit, pergi berlari-lari kecil. Biasanya ia akan bergabung dengan tetangga yang sudah duluan jogging di jalan raya yang masih sepi sepagi ini. Pikir Lia, ada juga baiknya niat ke gereja itu muncul mendadak. Jadi tidak perlu merepotkan Burhan. Walaupun lokasi gereja agak jauh dari rumah sini, ia bisa naik becak sendirian.
Masih terlalu pagi ketika Lia tiba di gereja. Dilihatnya layout meja-kursi di gereja sudah
disiapkan untuk keperluan Perjamuan Kudus. Meja di susun mejadi bentuk salib besar di tengah ruangan gereja.
Lia merasa jantungnya berdebar lebih keras.Sama sekali tidak menduga kedatangannya yang jarang-jarang ke gereja akan ‘disambut’ dengan kebaktian Perjamuan Kudus. Suatu kebetulan yang tidak kebetulan, menurut perasaan Lia.
Baru sepertiga bangku yang terisi. Sebagian orang malah masih mengobrol di luar. Terutama orang laki yang asyik sesama perokok. Lia sengaja duduk agak di bangku tengah. Inginnya sih di bangku depan, tetapi tidak nyaman rasanya duduk di sana tanpa pasangan. Tanpa suami. Orang-orang akan jelas melihat itu dari belakang.
Lia berdoa sebisanya. Belakangan ini setiap kali berdoa, selalu doanya diawali dengan mohon ampun dosa. Memang selalu ada rasa berdosa padanya karena menikah tidak di gereja. Hanya diCatatan Sipil dan tidak diberkati oleh pendeta. Usai mohon ampun, adalah mohon berkat. Mohon Tuhan mau kabulkan doa dan pinta mereka yang sudah sejak lama didambakannya. Anak !
Di bangku depan jalur seberang sana tampak Hans dengan isterinya. Oh, Tuhan Yesus, bahagianya mereka. Bahagianya orang-orang ini bisa bersama-sama suami-isteri ke gereja. Ketika bertatapan mata, Shinta – isteri Hans melambaikan tangannya, memanggil Lia agar pindah saja ke bangku di sampingnya. Di situ memang masih kosong. Lia bangku balas melambaikan tangan.
“Tidak usah, saya di sini saja,” bisiknya sambil memberi isyarat dengan tangan.
Kebaktian belum dimulai. Dari daftar liturgi kebaktian pagi ini Lia baru tahu kalau nanti akan ada Perjamuan Kudus. Ada rasa sangat beruntung ke gereja hari ini, sebab bisa ikut perjamuan kudus. Lia ingat sudah lama sekali tidak ke gereja ini. Terakhir ke gereja adalah beberapa minggu sesudah hari Natal dua tahun lalu. Ketika itu seusai kebaktian ada seorang bapak-bapak anggota jemaat yang punya inisiatip sendiri mendekati pianis. Bapak itu benyanyi dari sana, mengiringi jemaat yang saling bersalaman satu dengan lainnya. Lia masih ingat lagu itu dari Kidung Jemaat: Ya Yesus Terkasih. Bagus dan sangat menyentuh perasaannya ketika itu.
“Ah, kalau saja Tuhan mau memberi aku kesempatan, aku mau nyanyikan lagu itu nanti setelah kebaktian selesai,” kata hati Lia berdoa. Setengah serius doanya.
Samar-samar suara piano mulai mengantarkan suasana menjadi lebih khusyuk. Lia ingat lagi untuk berdoa.
“Sejujurnya, Tuhan, sampai dengan setengah jam yang lalu tidak ada terlintas dalam pikiranku untuk datang ke gereja ini. Tiba-tiba saja aku kepingin. Karena itu aku yakin Engkau yang mengingatkan aku. Engkau yang memanggil aku untuk hadir di sini dan . . .eee tahu-tahu ada Perjamuan Kudus. Karena itu tolong Tuhan kuduskan juga hatiku agar layak menerima berkat-Mu. Dengarkan doa permohonanku. Berkati aku berkati suamiku, kirimkan Roh Kudus-Mu masuk kedalam rumah tangga kami.”
Kebaktian dimulai. Pak Pendeta yang dalam warta jemaat tercetak namanya Pdt. Leimena, menyampaikan khotbah mengenai sesuatu. Suaranya datar dan monoton. Gereja ini memang konvensional, pendetanya pun kalam. Tidak meledak-ledak suaranya seperti kebanyakan pendeta muda yang melayani dalam Kebaktian Kebangunan Rohani.
Entah mengenai apa khotbahnya, Lia tidak lagi memperhatikannya. Sebab ia justru hanyut sendiri membaca Kitab Kejadian dalam Alkitab yang tadi dibuka sekenanya saja. la menemukan kisah tentang Abraham yang telah berumur seratus tahun. Sedangkan Sara isterinya berumur sembilan puluh tahun dan tentu saja sudah menopause.
Tuhan janjikan mereka akan mendapat anak laki-laki dan keturunannya kelak akan lebih banyak dari bintang di langit. Abraham dan Sara sempat ragu : Mungkinkah anak itu akan lahir dari rahim Sara yang telah tertutup? Mungkinkah itu ? Tetapi, adakah yang mustahil bagi Tuhan?
Lia mengikutinya terus mulai dari pasal dua belas hingga beberapa pasal berikutnya. Keyakinan Abraham tidak menjadi lemah, walaupun ia tahu semua itu mustahil dari ukuran manusia. Ia percaya, Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.
Tiba-tiba terdengar suara Pak Pendeta Leimena lebih keras. Biasanya ini tandanya khotbah akan selesai.
“Sebab terang tidak bisa tinggal bersama-sama dengan gelap. Ia akan tetap tinggal dalam cahaya dan akan menerangi kegelapan itu. Janganlah hidup dalam keremangan,” kata Pak Pendeta. Lia mengangkat kepalanya, menatap ke mimbar. “Berbahagialah orang-orang yang diampuni pelanggaran-pelanggarannya. Berbahagialah mereka yang kesalahannya tidak diperhitungkan oleh Tuhan kepadanya.”
Lia terjongong. Lia jadi merasa seolah-olah Pak Pendeta di atas mimbar sana berbicara hanya kepada Lia sendiri.
“Tuhan selalu tahu apa yang kita lakukan. Jika kita hanya suam-suam kuku, tidak dingin dan dan tidak panas, maka Tuhan akan memuntahkan kita,” tambah Pak Pendeta.
Lia terpekur. Semakin terasa seolah-olah pendeta itu mengarahkan khotbahnya kepada Lia sendirian.
“Tuhan, ampuni aku,” Lia merintih. “Aku yang dimaksudkan dengan suam-suam kuku itu. Aku adalah keremangan. Aku tidak menjadi terang bagi suamiku.”
Lia mulai menyadari bahwa toleransi telah berkembang menjadi keyakinan baru di rumahnya. Toleransi yang keliru, sebab Lia selalu mendorong Kang Burhan agar tekun melakukan ibadah sesuai keyakinannya. Dengan niat toleran, Lia sekalian mengurangi ibadah sendiri. Sebaliknya, Burhan juga melakukan toleransi yang sama. Akhirnya semuanya menjadi serba tanggung. Remang-remang dan suam-suam kuku.
Perjamuan kudus akan dimulai dengan meja pertama. Meja perjamunan sudah disusun berbentuk salib di tengah ruangan kebaktian dengan kursi mengelilinginya. Karena tempatnya terbatas, hanya bisa menampung jemaat sebagian demi sebagian. Pendeta turun dari mimbar lalu memanggil jemaat untuk maju ke meja perjamuan.
Ketika jemaat di deretan paling depan mulai bergerak menuju meja, tiba-tiba pendeta itu menghimbau jemaat:
“Untuk mengantarkan jemaat ke meja pertama, jika ada vokal grup atau anggota jemaat yang akan mempersembahkan lagu pujian, dipersilakan,” Lia terkejut. Diperiksanya lembar liturgi di tangannya, lha, ini tidak ada dalam daftar liturgi. Dan, entah kenapa, ia merasa seakan-akan tatap mata dan senyum Pak Pendeta tertuju padanya. Seakan tahu bahwa tadi ia berdoa minta kesempatan untuk bernyanyi nanti.
Lutut Lia gemetar. “Benar, tadi aku berdoa. Tapi – aku tidak serius. Dan maksudku juga, ya nanti, sambil untuk mengantarkan jemaat pulang. Bukan sekarang !”
Perjamuan kudus di meja pertama berlangsung khusyuk. Musik dari pianis mengantarkan mereka kembali ke tempat duduknya. Lia gelisah amat sangat, keringat dingin membasahi tangannya. “Tuhan, Engkau memanggilku untuk bernyanyi sekarang…?”
Sebentar lagi jemaat berikut akan dipanggil memasuki meja kedua. Lia ragu bahwa ini adalah jawaban doanya, tetap ia lebih takut pada Majelis yang sedang bertugas dan jemaat yang hadir. “Mereka tidak mengenal aku karena jarang kemari. Lalu apa kata mereka nanti jika tiba-tiba aku nyelonong ke tempat pianis dan bernyanyi dari sana? Aduh ! Malunya kalau sampai aku ditegur oleh penatua yang bertugas.
Tetapi Lia merasa ini Tuhan sedang berbicara padanya. Tadi ia meminta sesuatu yang sederhana saja, bernyanyi di luar acara kebaktian sambil mengantarkan jemaat pulang. Itu pun tidak serius benar. Sekarang Tuhan menjawab.
“Tuhan, Engkau memberi kesempatan padaku justru dalam acara pokok, yaitu perjamuan kudus. Bukan selingan menjelang pulang seperti yang aku minta,” pikir Lia bergumul antara ya dan tidak. “Engkau memberi lebih dari yang aku minta, tetapi mengapa aku ragu ?”
Lia ingat cerita di sekolah minggu tentang Petrus yang minta sedikit ‘kehebatan’ lalu Tuhan Yesus mengabulkannya, yaitu memberinya kemampuan untuk berjalan di atas air. Ternyata Petrus ragu hingga ia tenggelam.
Sekarang ketakutan Lia berubah. Bukan lagi takut pada Majelis yang bertugas. “Harus bagaimana aku, Tuhan? Akan Engkau tenggelamkan aku seperti Petrus jika ia tidak mengambil kesempatan ini?”
Pendeta kembali memanggil jemaat memasuki meja kedua. Jemaat yang duduk di bangku depan Lia sudah berdiri dan berjalan menuju meja perjamuan. Lia tidak mungkin duduk saja sebab jemaat yang di sebelahnya pun sudah berdiri. Akhirnya Lia berdiri dan ikut ikut berjalan di belakang mereka. Dan, tiba-tiba saja ia mendapat kekuatan,serta merta ia berbelok kearah piano yang terletak disudut kiri dekaaltar.
“Boleh aku main sendiri, Dik?” kata Lia dengan ketenangan yang amat sangat.
Gadis di belakang piano itu, tidak berkata apapun percaya saja memberikan tempatnya kepada Lia.Orang-orang sekeliling heran melihatnya, sebab banyak yang belum pernah melihat Lia di gereja ini.
“Tuhan, ini aku datang memenuhi panggilan-Mu” kata Lia dalam hati lalu membuka Kidung Jemaat dan mulai memainkan jarinya di atas piano.
Pianis tadi bantu mendekatkan mikropon. Lia bernyanyi, pelan-pelan dan lembut saja suaranya mengantarkan jemaat untuk berjalan memasuki perjamuan kudus di meja kedua. Syahdu, suara Lia menambah khusyuk.
Ya, Yesus terkasih, Engkau Tuhanku Kubuang dosaku, demi nama-Mu
Kau Juru S’lamatku, Pengasih benar Kasihku pada-Mu semakin besar
Baru satu baris Lia menyanyi, Pak Pendeta menoleh ke arah Lia dan mengangguk sambil tersenyum. Lia seperti mendapat dukungan. Ia semakin yakin kehadirannya yang spontan tidak akan membuat pengurus gereja ini tersinggung. Bahkan, lambat laun jemaat pun ikut bernyanyi perlahan-lahan.
“Terima kasih, Tuhan,” bisik Lia. Pada meja selanjutnya, ia teruskan dengan ayat berikut. Engkau lebih dulu mengasihiku Kauhapus dosaku dengan darah-Mu
Menanggung sengsara Kau tidakgentar Kasihku padaMu semakin besar
Lia terus mengiringi dua meja berikutnya, bahkan mengulang lagi dari ayat pertama. Seluruh jemaat dalam gereja itu seperti tersihir, ikut bernyanyi perlahan-lahan bersama Lia. Hingga tiba giliran Lia untuk maju. Piano itu Lia serahkan kembali kepada pianis.
“Terima kasih, Mbak,” bisik gadis itu. Lia balas tersenyum lalu melangkah menuju ke meja perjamuan. Gadis pianis itu meneruskan lagu yang tadi dibawakan oleh Lia.
Duduk di kursi menghadapi meja Perjamuan Kudus, di hadapanya terdapat cawan tempat roti dan gelas kecil tempat anggur. Lia pejamkan mata. “Tuhan, siapakah aku sehingga boleh Kau angkat tinggi-tinggi dalam perjamuan kudus ini?”
Perasaan Lia masih melambung-lambung tinggi. Bernyanyi tadi benar-benar menjadi sesuatu luar biasa baginya. Terakhir ia bernyanyi di gereja adalah ketika masih remaja. Sepotong kecil roti dan seteguk anggur perjamuan kudus kali ini memberinya kekuatan untuk tegar mengangkat kepalanya. Lia kembali berdoa:
“Engkau luar biasa, Tuhan Yesus. Engkau mengubah hidupku dengan seketika saja .. .!”
Usai kebaktian, jemaat yang duduk di kiri kanan menyalami Lia sekalian berkenalan. Mereka benar-bear senang mendengar Lia menyanyi Ada juga anggota Mejelis yang datang dan minta agar Lia sering-sering mengisi lagu pujian di gereja ini. Setidak-tidaknya menjadi pianis mengiringi kebaktian minggu. “Kita kekurangan pianis,” kata anggota Majelis itu.
Lia masih duduk di bangkunya, seperti selebriti dikerumuni oleh beberapa orang yang antri menyalaminya. Hans dan Shinta – isterinya harus menunggu sampai dapat menghampiri Lia yang masih duduk di bangkunya. Mereka bersalaman, cium di pipi.
“Bang Bur pergi jogging. Aku naik becak tadi,” jawab Lia ketika Shinta menanyakannya.
“Ikut kita saja. Nanti kita antar,” tukas Shinta menawarkan ikut naik mobil mereka.
Lia mengangguk. Tiba di luar gereja kedua anak Hans sudah menunggu, Tio dan Anggi. Sekolah Minggu di gedung sebelah memang bubar hampir bersamaan dengan kebaktian di gereja. Kadang belakangan. Sengaja begitu, supaya anak-anak itu tidak berisik mengganggu orang tuanya ke dalam gereja.
Lia ingat Burhan tadi bilang pingin makan bubur ayam. Karena itu Lia minta Hans melewatkan mobilnya di depan pajak, lewat kakilima tempat si Lie Tek jualan bubur ayam. Bubur ayam Lie Tek memang sudah dikenal orang. Ternyata dugaan Lia tidak meleset, Burhan memang ada di situ. Menghadapi cangkir kopi bersama Pak Niazi dan Pak Farukh, tetangga dekat rumah.
Melihat Lia dan rombongannya datang, Pak Niazi dan Pak Farukh segera pamit pulang duluan. Selain karena sudah lama mengobrol di situ, bangku tempat duduk pun memang kurang. Burhan pesan bubur ayam untuk Lia dan Shinta. Sedangkan Hans dan kedua anaknya minta kwetiau. Hans dan Shinta sangat antusias menceritakan penampilan Lia tadi di gereja. Main musiknya bagus. Suaranya bagus. Bagus banget .
“Apalagi lirik lagunya juga pas dengan suasana Perjamuan Kudus,” tambah Shinta lagi. “Hari ini kak Lia jadi selebriti.”
“Wah, sayang aku nggak lihat ya?” balas Burhan menanggapi.Lia tersenyum-senyum saja. Memang ini kesaksian luar biasa bagi dirinya pribadi. Belum pernah ia merasa terangkat seperti ini. Di pesta pernikahan atau ulang tahun teman ia sudah biasa spontan menyumbang main piano bahkan menyanyi. Tetapi ini di gereja tempat yang sudah sangat lama tidak diakrabinya.
Sebenarnya ia juga ingin menceritakan bagaimana berat pergumulan bathinnya sebelum akhirnya memutuskan untuk maju ke tempat pianis Itu. Tetapi ia mau Burhan yang mendengar lebih dulu darinya. Dan itu nanti sendirian di rumah.
Hari ini Lia mendapat pelajaran baru tentang (manusia dan karunia Tuhan. Manusia memang lemah. Sangat lemah. Bahkan ketika Tuhan memberi lebih dari yang diminta, orang malah sering ragu. Sering tidak yakin bahwa itu adalah jawaban Tuhan atas doanya. Banyak orang berdoa mengundang kehadiran Tuhan, tetapi ketika Tuhan datang dan mengetuk.
“Ah, Engkau-kah itu ?”
***
HAMPIR subuh. Lia tersentak bangun lalu diam termangu di sudut tempat tidur. Matanya nanar menatap suaminya yang masih tertidur lelap. Sampai Burhan terbangun, terkejut melihat Lia memandanginya seperti itu. “Ada apa, Lia? ”
Lia tidak segera menjawab, ia malah meraih bantal dan menutup wajahnya dengan bantal itu. “Heh, kenapa kau ini?”
“Aku mimpi, Bang. Mereka datang. Mereka mengusir aku…!”
“Mereka itu siapa, Lia?”
“Bunda, Bang, dengan Ayah. Aku mimpi mereka mengusir aku dari rumah ini. Wajah ayah beringas marah, Ayah menjambak rambutku, menyeret dan menghempaskan tubuhku terbanting di pekarangan. Lalu Bunda datang dan meludahi aku dengan air sirihnya. Merah! Seluruh mukaku merah! Seperti darah!”
“Sudah. Tenangkan pikiranmu, Lia. Itu cuma mimpi. Kau sih terlalu banyak berpikir yang bukan bukan. Jadinya mimpimu seperti itu.”
Burhan berusaha menenangkan isterinya. Tetapi sejujurnya, ia sendiri pun gusar mendengar mimpi itu. Ia tidak bercerita pada Lia bahwa dua hari yang lalu ayahnya menelepon ke kantor. la bimbang. Orang tuanya itu akan datang dari Pekanbaru tetapi diminta supaya kedatangan mereka ini jangan sampai ketahuan oleh Lia.
“Lia, sebenarnya … mereka memang akan datang hari ini,” kata Burhan kemudian.
“Tetapi bukan untuk mengusirmu.”
“Apa ? Jadi benar-benar mereka akan datang?”
“Benar, Lia.”
“Lalu kenapa kau tidak beri tahu aku ? Kau akan ceraikan aku?’
“Aduh, jangan cepat berpikir begitu. Jangan mendramatisir perasaanmu sendiri. Itu menyiksa kita berdua. Sudahlah, apa pun kata orang tuaku pokoknya kita tak akan berpisah! Tidak kan bercerai! titik!!” kata Burhan lugas.
“Lalu . . . kenapa kau tidak memberitahu aku kalau mereka akan datang hari ini?”
“Aku terlalu bingung, Lia. Pikiranku kacau sehingga aku tidak tahu bagaimana caranya memberitahukanmu.”
“Terserah, Bang. Tetapi sejujurnya aku takut. Takut sekali, Bang.”
“Sudahlah, masih jam setengah tiga,” sambung Burhan seraya melirik jam di sisi tempat tidur. “Masih ada waktu untuk tidur. Besok siang kita akan menjemput mereka ke airport.”
‘Kau tidak ke kantor?’
“Tidak. Nanti kalau ketemu mereka, bersikaplah sewajarnya saja. Lupakan mimpimu itu. Mereka adalah orang tua kita. Tidak ada orang tua yang kepingin rumah tangga anaknya berantakan”.
Hening. Sesekali terdengar sayup lolongan panjang anjing kampung di kejauhan. Pikiran masih menerawang tak bisa tertidur lagi. Jam tiga subuh. Ronda malam memukul kentongan tiga kali. Hening malam pun membuat detak jam di sisi tempat tidur itu jadi menakutkan.
Ketika berumur tujuh belasan Lia sudah kehilangan ayahnya. Ibunya malah sudah lebih dulu sakit-sakitan sehingga tidak bisa diharapkan bekerja. Lia bersama Mary adik perempuannya, bergantung sepenuhnya kepada Rudy sebagai anak paling tua dalam keluarga itu.
Sebenarnya Rudy disuruh meneruskan usaha dagang kelontong orangtua itu di pasar. Dasar mental penjudi, Rudy foya-foya sendiri. Harta peninggalan orang tua yang tidak seberapa itu semakin surut sehingga Lia terpaksa menghentikan kuliahnya di tahun ketiga.
Teringat Mary adik perempuannya. Hmm, Lia tersenyum getir. Entah ada apa dengan adiknya yang dari kecil memang centil. Dari masih balita Lia selalu cekcok dengan Mary. Ada saja yang menjadi sumber pertengkaran. Soal bajulah, soal mainan. bedak serta hal-hal sepele lainnya. Hampir tak adahari-hari yang lewat tanpa pertengkaran antara Lia dan Mary.
Usai SMA, Mary tidak ingin kuliah seperti Lia. Ia lebih lebih suka cari kerja di Medan. Lalu ia ketemu jodoh orang Singapura dan cepat-cepat kawin. Beberapa hari menjelang perkawinan Mary masih juga mereka bertengkar. Masalahnya juga sepele. Mary akan kawin mendahului Lia.
Sebenarnya Lia setuju saja dilangkahi adiknya. Namun ketika ditanyakan pendapatnya tentang baju pengantin Mary, Lia memberi komentar sepintas saja. Tidak serius seperti yang diharapkan Mary. Sikap Lia itu ditanggapi lain oleh Mary. Ia menuduh Lia tidak iklas Mary menikah duluan. Lalu bertengkar dan bertengkar lagi.
Lama setelah itu barulah Lia menyadari kesalahannya. Ketika itu tentu Mary merindukan sosok seorang kakak yang bijaksana dalam pemikahannya itu. Ibu mereka sudah sakit-sakitan dan tidak bisa berbuat banyak untuk Mary. Ia berharap Lia mau mengambil peran itu. Sebaliknya, Lia tidak ingin lebih jauh mencampuri urusan pemikahan adiknya. Sejujurnya, memang ada rasa tak nyaman karena adiknya menikah duluan. Maka sejak Mary kawin dan diboyong suaminya pindah ke Singapura, mereka tidak lagi bertemu. Adiknya itu hanya menyuratinya sebanyak dua kali, yaitu ketika ketika anaknya yang pertama lahir, laki-laki. Kedua, ketika Lia menikah. Setelah itu Lia tidak pernah mendapat beritanya lagi. Beberapa kali ia bersurat ke alamat Mary tanpa mendapat balasan npaapa. Bagaikan melempar batu ke dalam air, tak muncul-muncul lagi. “Kau belum tidur juga?” tanya Burhan tiba-tiba.
“Kau?” sahut Lia pula berbalik bertanya. Tangannya melingkari dada Burhan.
“Lho, kalau aku tertidur mana bisa aku tahu kau tidak tidur.”
“Oh ya ? Lalu kenapa kau masih bertanya?”
“Kau brengsek !” balas Burhan tertawa. “Ya, sudah. Kita tidur, ya ?”
“Hmmhh .”
“Hmmh ?”
Siang harinya mereka terlambat tiba di Airport Polonia. Ketika mereka tiba di ruang tunggu tampak kedua orang tua itu sudah duduk disana.
“Itu Bunda!” kata Burhan sambil menarik tangan Lia setengah berlari memeluk ibunya. Ia menyebut ibunya Bunda. Lalu memeluk Ayah juga. Tetapi kemudian kedua orang tua itu sejenak terkejut melihat Lia ikut menjemput. Pesannya dalam surat tidak seperti itu.
Dan disamping kedua orang tua itu masih terdapat seorang gadis manis yang tersenyum tersipu-sipu sambil mengulurkan tangannya.Sibuk benar gadis ini membenahi senyumnya agar tampak manis dihadapan Burhan.
“Siapa ini,Bunda? Tanya Burhan gusar. “Yusnita,yang kukatakan dulu,” bisik ibunya tersenyum dan Burhan mendadak salah tingkah.Lia juga.
“Oh,jadi maksud Bunda….!”
“Yusnita hendak kerumah saudaranya,” potong ayahnya cepat. “Ia belum pernah keMedan ini.Jadi ayahnya minta tolong diantarkan nanti.”
Tetapi Burhan kurang yakin.bibirnya bergumam memprotes.”Sandiwara macam apa ini ?”
Ia kini mengerti kenapa dalam suratnya ayah menghendaki Burhan datang menjemput sendirian saja.Tanpa isterinya.Rupanya kedua orang tua itu ingin mempertemukanya dengan Yusnita tanpa sepengetahuan Lia.
“Baiklah, kita antarkan dia lebih dahulu,” kata Burhan kemudian sambil mengangkat barang-barang bawaan mereka ke mobil. Lalu kepada Yusnita ia bertanya: “Di mana alamat saudaranya, Dik?” Gadis itu masih tersenyum malu-malu. Dengan tangannya yang bercat kuku mencolok ia mengeluarkan secarik kertas dari tasnya lalu disodorkan kepada Burhan.
“Di Padang Bulan,” gumam Burhan membaca alamat itu. “Oke, naiklah. Bisa kita antarkan sambil lewat”.
Sedan biru itu meluncur ke luar. Mobil angsuran yang masih tampak baru. Mesinnya menderum lembut sedangkan dada Burhan bergemuruh dari belakang setir. Lia juga membisu. Gelisah menggenggam bara api dalam hatinya.
“Yusnita seharusnya cantik. Mestinya ia tidak berdandan berlebihan,” pikir Burhan.
Memang untuk gadis sepolos Yunita, senyumnya seharusnya masih lugu. Hanya matanya itu, ah, seperti bola mata anak-anak. Lia sendiri sangat senang melihat anak-anak dengan mata bulat seperti Itu. Bening, polos dan tatapannya ramah menyapa.
Tiba di alamat rumah yang dituju di Padang Bulan, Burhan menghentikan mobilnya lalu membantu menurunkan barang-barang gadis itu. Seorang lelaki setengah tua tergopoh-gopoh menyambutnya.
“Terima kasih banyak,” desah gadis itu kemudian ketika Burhan akan masuk ke mobil.
Burhan sudah mengemudikan mobilnya kembali di atas jalan raya, terasa seolah kendaraan itu tak punya tenaga lagi. Rodanya berputar lamban dan rasanya seperti tak akan sampai. Ia gelisah. Ia ingin secepatnya tiba di rumah lalu memuntahkan sederet pertanyaan tentang maksud kedatangan mereka itu. Kenapa harus menjemput tanpa Lia? Kenapa begini dan begitu? la ingin menegaskan bahwa ia tidak mau dipisahkan dengan Lia!
Pendek benar pikiran orang tuaku ini, Burhan berkata dalam hati. Mereka pikir perkawinan hanya sekedar sebuah lembaga rumah tangga untuk mendapatkan keturunan. Tak lebih dari itu. Tak perlu nilai lain. Jangan-jangan mereka menganggap wanita itu hanya mesin pencetak manusia kecil. Hanya itu. Maka jika mesin itu tidak berfungsi, segera saja ganti dengan mesin lain. Astaga! Burhan terkejut dengan pikirannya sendiri.
Sore hari setelah kedua orang tua itu beristirahat sejenak, Burhan mengajak mereka duduk di teras. Serba kaku dan salah tingkah. Burhan tidak tahu dari mana ia harus memulai pembicaraan. Lia sendiri sibuk di dapur mempersiapkan makan malam.
Kedua orang tua itu pun gelisah. Kecewa. Sebenarnya mereka berencana untuk menginap di rumah family Yusnita di jalan Sei Bamban itu. Maksudnya, Lia tidak usah tahu mereka datang hingga pulang nanti. Mereka ingin leluasa memperkenalkan Yusnita kepada Burhan serta
membicarakan segala kemungkinan menikahi perempuan itu. Kehadiran Lia di lapangan terbang Polonia telah membuat segalanya kacau. Mau tidak mau mereka terpaksa akan menginap di rumah ini.
“Ayah, Bunda,” desah Burhan kemudian setelah tidak kuat lagi menahan kegelisahannya. “Saya tidak mengerti maksud kedatangan Bunda dan Ayah kali ini. Tidak biasanya seperti ini.”
“He he, apanya yang tidak biasa ?” sahut ayahnya balik bertanya sambil tertawa. Hambar.
“Maksud saya, kenapa Ayah minta aku datang menjemput sendirian saja tanpa Lia? Kenapa ia tidak boleh diberitahu?” lanjut Burhan mulai berani.
“Pantaskah itu ? Ayah dan Bunda ‘kan orang tuanya juga ?”
“Baiklah,” balas ayahnya tersenyum. Coba bersikap bijaksana. “Kau seperti kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu. Nantilah Ayah jelaskan. Tidak sekarang. Belum saatnya isterimu mengetahuinya sekarang.”
“Kenapa tidak, Yah?’ desak Burhan pula. “Lia itu isteri saya. Masalah saya adalah masalah Lia. sebagai suami-isteri Ayah dan Bunda juga begitu kan ?”
Terasa benar Burhan sengaja menekankan suaranya ketika berkata ‘isteri saya’. Ia ingin
menegaskan betapa pentingnya Lia baginya.
“Tidak selalu begitu,” jawab ayahnya setengah menggeram. Orang tua ini mulai marah. “Ada hal yang harus diketahui isteri. Ada yang tidak.”
Selanjutnya Ayah Burhan terdiam. Asap rokoknya dihembuskan keras-keras seakan sengaja ke arah muka Burhan. Sebaliknya Burhan mengalihkan pandang matanya ke arah ibunya. Ingin mendapat dukungan. Sayang, justru sang Bunda inilah sutradara dari semua sandiwara ini. Ia cuma menyeringai sinis, kecewa dengan sikap Burhan membawa isterinya ke lapangan terbang siang tadi. “Baik, kalau itu yang kau minta. Kami akan berterus terang saja,” kata ayah Burhan kemudian. Matanya nyalang ke ruangan dalam. Agaknya khawatir juga kalau-kalau Lia menguping di sana. “Kami ingin membicarakan pernikahanmu dengan Yusnita. Kami sudah sepakat dengan orang tuanya untuk segera …!”
“Apa!?” sentak Burhan terperangah. “Menikah ?” “Ssst! Jangan emosi dulu.” “Jadi sudah sejauh itu pembicaraan Ayah ?”
“Jangan membantah dulu, Burhan,” selak ibunya pula. “Biarkan ayahmu jelaskan dulu. ”
Burhan menahan nafas, dadanya sesak. Ia menunggu sementara wajahnya merah padam. Dalam dadanya badai mengamuk sejadi-jadinya.
“Kau sudah melihat gadis itu tadi siang,” kata ayahnya meneruskan. “Sejak lama ia sudah bersedia menjadi isterimu. …”
“Yah,” potong Burhan tidak sabar lagi. “Tindakan Ayah ini sudah keterlaluan. Rencana Ayah dan Bunda sudah sedemikian jauh tanpa perlu meminta pendapat saya. Lantas, dianggap apakah saya ini ?”
“Justru itulah kami datang, Burhan. Kau harus pikirkan baik-baik. Kau sudah sarjana dan tentunya bisa memahami niat baik kami,” balas ibunya. “Tidak ada orang tua yang ingin anaknya susah.”
“Tetapi, Bunda…! ”
“Burhan,” selak ibunya lagi. “Tenanglah dulu. Coba dengarkan baik-baik apa kata ayahmu.”
Sekali lagi Burhan bergetar menahan diri. Ia tahu, hanya karena lelaki yang di hadapannya ini adalah ayahnya maka ia harus menunggu. Harus mendengarkan baik-baik, walaupun kata-katanya itu busuk!
“Sebagai seorang yang berpendidikan, kau pasti menyadari sendiri bagaimana keadaanmu suami-isteri. Tujuh tahun kawin tanpa anak, Bur.”
“Ya. Sedang Yusnita bisa Bunda jamin gadis baik-baik dari keluarga yang terpandang di kampung kita” sambung ibunya. “Menurut Bunda sih cukup cantik. Penurut serta hormat kepada orang tua. Apa kurangnya anak itu ?”
Burhan terperangah. Gejolak panas seakan mengalir deras di seluruh pembuluh darahnya.Ubun-ubunnya seakan hendak terbuka mengepulkan uap panas. Kedua orang tuanya ini yakin Yusnita cocok jadi isteri Burhan hanya karena berasal dari keluarga terpandang, cantik, penurut dan hormat kepada orang tua. Lalu apa lagi ? Mungkin seandainya diminta, mereka tidak akan ragu memberikan nilai sembilan untuk gadis itu. Sementara Lia hanya akan mendapat nilai tiga !
“Yah, ini bukan zaman Siti Nurbaya. Saya harus punya kesempatan untuk menentukan jalan hidup…!”
“Jangan lupa,” ibunya menyelak pula, “kau ini anak tunggal kami, Bur. Tumpuan harapan kami untuk mendapat cucu. Kami tidak berlebihan. Wajar. Semua orang tua seperti itu. Bunda yakin Yusnita akan dapat memenuhi harapan kita semua. Terima saja, Nak. Jangan sia-sia kami yang telah bersusah payah membesarkan serta menyekolahkan kau.”
Ya, Allah ! Burhan terperanjat. Sang Bunda ini mulai mengeluarkan senjatanya yang terakhir. Telah bersusah payah membesarkan serta menyekolahkan kau! Lantas, karena itu aku tidak berhak menentukan jalan hidupku?
“Yusnita itu gadis baik-baik. Bunda yakin itu. Sebab ia dibesarkan di kampung Kauman. Solehah. Pergaulannya tidak sebebas gadis kota besar.”
Burhan bergidik. Gadis kampung mana yang memakai cat kuku warna-warni mencolok begitu ? Senyumnya itu lagi, terlalu berani untuk ukuran gadis kampung.
“Sudahlah, Yah,” kata Burhan kemudian. “Aku belum ingin mendengar semua itu.”
“Burhan,” tegur ibunya lembut. “Pikirkan baik-baik. Bunda tidak ingin kau menderita. Kami tahu bahwa kau sendiri mulai menyangsikan kesuburan isterimu. Itu sebabnya kami merasa perlu ikut campur. Yusnita itu baik, Bur.”
Burhan serba salah. Kedua orang tuanya ini lOlah sudah berlatih dengan baik khusus untuk menaklukkan kekerasan hati Burhan. Jika ayahnya ki’habisan kata-kata, ibunya sigap mengambil alih.Sebaliknya juga demikian. Jika Burhan mulai berkeras mentang ayahnya, ibunya yang ambil alih memasang jurus-jurus lembut mematikan. Sekarang Burhan sudah tak ingin berpanjang-panjang tentang Yusnita.
‘Tidak, Bunda.. Tidak ada gunanya cerita panjang lebar tentang Yusnita. Bagaimana pun Lia adalah isteriku! Tidak akan ada yang dapat memisahkan kami!”
Kedua orang tua itu terdiam. Semua senjata tidak mempan lagi. Usaha mereka mulai membentur tembok tegar. Sang Ibu mulai menangis. Benar-benar menangis. Benar-benar kecewa dan putus asa. Ia merasa habislah sudah harapan-harapan yang dibangunnya sebelum sebelum berangkat dari Pekanbaru. Ia akan menjadi tua hingga mati tanpa pernah menimang seorang cucu pun.
“Bunda,” bisik Burhan perlahan, nyaris hilang dikerongkongannya. Ia pindah duduk ke dekat Ibunya. Disentuhnya rambut yang mulai memutih di pelipis. Disisihkannya anak-anak rambut yang bermain menutupi wajahyang mulai berkerut itu. Aah, ibuku memang sudah mulai tua, ayah juga!
“Bunda,” ulang Burhan lirih. “Aku mengerti perasaan Bunda dan Ayah. Tetapi aku mohon, tolong juga mengerti perasaan kami. Masih banyak waktu. Lia pasti akan memberikan cucu yang manis buat Bunda dan Ayah. Tuhan tidak tidur, Bunda. Ia akan menjawab kerinduan kita semua. Berdoa saja buat kami, Bunda.”
“Ya, Tuhan ! Kasihani anakku ini … !” balas ibunya tersedak memeluk Burhan. Kejengkelannya mendadak mencair mendengar permintaan Burhan yang demikian tulus. Sadarlah ia betapa mereka telah melukai hati anak tunggalnya ini.
Di muka pintu dapur, Lia terpana. Ia berdiri dengan tubuh gemetar menyaksikan semua itu. Seakan kedua kakinya tidak kuat lagi menyangga tubuhnya berdiri. Pipinya basah. Sejak tadi ia sudah mendengar semuanya dari ruang tengah.
“Burhan, anakku! Maafkan, Bunda! Maafkan juga Ayahmu! Kami bingung. Panik. Kami tidak sabar lagi menunggu. Sampai kapan, Bur ? Tetapi kau benar, kita hanya bisa berdoa dan berharap pada Tuhan saja.”
Lia tidak lagi kuasa menahan keharuannya. la menghambur lalu membuarkan tangisnya dalam pelukan perempuan tua itu. Mereka berpelukan dan bertangisan bertiga.
“Bunda… ” desah Lia dalam tangisnya. Hanya itu yang terdengar. Padahal terlalu banyak yang ingin ia katakan saat itu. Terlalu bertumpuk menyesak dadanya.
Sebaliknya ayah Burhan hanya terpaku. Matanya gelisah menatap jalan raya yang mulai menghitam ditelan temaram senja. Sedikit pun hatinya tidak tergugah oleh realitas pedih yang berlangsung dihadapannya. Keputusannya tidak boleh ditampik. Burhan harus menikahi Yusnita! Ayah Burhan sudah terlanjur menjanjikan pernikahan itu kepada orang tua Yusnita di kampung. Juga semua orang sekampung sudah tahu rencana perjodohan itu.
Alangkah malunya jika ini batal. Malu! Keluarga Yusnita itu orang kaya di kampungnya. Orang terpandang. Semua orang di kampung menyukainya dan itulah pula sebabnya ayah Burhan bangga bercerita di musholah bahwa ia akan berbesanan dengan ayah Yusnita. Lalu apa jadinya kalau sampai ayah Yusnita kecewa dan marah ?
Lenyaplah sudah pikiran sehat. Bila Burhan tetap berkeras, ia memutuskan akan meninggalkan rumah itu. Pada malam ini juga. Biarlah mereka tidur di hotel sambil menunggu pesawat terbang esok pagi untuk pulang ke Palembang. Biar saja. Sesudah ini tidak mau perduli dengan Burhan. Tetapi amarah dan ancaman saja tidak menyelesaikan masalah. Ia coba lagi untuk berpikir.Persoalan belum selesai jika marah dan pulang kePekan baru. Ayah Yusnita adalah orang berpengaruh di kampung mereka di Pekan baru. Ia juga akan merasa dipermalukan kalau Yusnita sampai tak jadi menikah dengan Burhan. Orang sekampung sudah terlanjur tahu. Kalau nanti ia sampai menuntut balas…!
“Burhan,” ujar ayahnya datar setelah tangis dihadapannya itu mereda. “Kau harus berani melihat kondisimu sekarang. Ayah menghargai kebebasanmu untuk memilih cara hidup. Ayah juga menghargai pengorbanan Lia selama ini. Begini saja. Ayah tidak memintamu untuk menceraikan Lia. Tetapi menikahi Yusnita itu juga tak ada salahnya, bukan?”
“Maksud Ayah … aku harus …. harus kawin lagi?” Burhan lagi-lagi terkejut. “Aku … aku punya isteri dua ? Begitu, Yah?”
“Kau tidak punya pilihan lain, Bur. Kau harus punya anak.”
“Ah, gagasan apa ini, Yah ? Aku tidak bisa!” jawab Burhan terengah.
“Apa susahnya?” balas ayahnya menggeram. “Apa salahnya beristeri dua?”
Lia juga terkejut. Belum pernah ia melihat ayah mertuanya marah sampai segarang itu. Ia segera mundur ketakutan dan lari masuk ke kamarnya.
“Tidak! Aku tidak bisa melakukan itu!” tambah Burhan tak kalah sengitnya.
“Burhan!! ” bentak sang ayah sekonyong konyong meledak. “Kau sudah tidak mau menghargai orang tuamu?”
“Maksud Ayah? Harus bagaimana aku?”
“Kau benar-benar sudah tidak bisa diatur, ya?”
Burhan terhenyak di kursinya. Ya, Tuhan, aturan macam apa ini? Ia benar-benar tak habis pikir, dari mana ayahnya dapat ide seburuk itu. Memaksa anaknya kawin lagi hanya karena tidak sabar ingin menimang cucu.
“Ayah,” jawab Burhan kemudian sambil menggelengkan kepalanya perlahan. “Saya tak bisa
berbuat lain. Kami akan terus berobat ke dokter. Kami akan terus berdoa serta berharap pada kemurahan Tuhan saja. Aku tak bisa menikahi Yusnita. Maafkan, Ayah!”
“Baik!” ayah Burhan menggebrak meja lalu berdiri. “Kau akan membiarkan orang mempermalu-kan kami! Anak brengsek!! ”
***
LENGANG. Sepi. Yang tersisa kini adalah Burhan yang tengah terpaku diam menatap pintu gerbang yang masih terbuka. Di sisinya Lia menangis sesenggukan. Ah, cepat sekali rasanya kejadian ini berlangsung, tahu-tahu ayahnya marah besar lalu menjatuhkan vonnisnya atas Burhan dan Lia.
Itulah ayahku, kata Burhan merintih dalam hatinya. Itulah lelaki yang dulunya tidak pernah menampik permintaanku. Ialah seorang ayah yang rela menjual sawahnya untuk keperluan kuliahku. Dan itulah dia, lelaki yang wajahnya merah padam terbakar oleh amarah,. Bunda yang tengah menangis diseretnya pergi meninggalkan rumah ini. Mereka membawa semua barang-barang mereka. Berjalan kaki hingga ke pinggir jalan besar dan menyetop taksi.
Burhan masih berusaha mencegah tetapi sia-sia. Semua usahanya hanya menambah amarah. Sebelum naik ke taksi, ayahnya masih sempat mengumpat:
“Sejak ini anggap kau tidak pernah punya orang tua!”
Rokok ayahnya masih tertinggal di atas meja teras. Diambilnya sebatang dan dinyalakan. Pahit. Ia memang tidak suka merokok, tapi dipaksakannya saja. Asap rokoknya dihembuskannya keras-keras.
“Bang Burhan,” desis Lia lirih. “lebih baik kau turuti saja kata Ayah.”
“Tidak, Lia,” jawab Burhan. “Aku takkan sanggup melakukan itu. Itu tidak membuat keadaan kita akan lebih baik.”
“Tetapi aku…..mungkin aku harus iklas, Bang.Aku tidak keberatan kau kawin lagi.”
“Hmm, kau bohongi hatimu sendiri.”
“Sungguh, Bang,” tambah Lia. “Aku mau belajar menerima apa pun yang akan terjadi. Terima saja, bang. Aku harus, ya, harus. Harus siap kalau-kalau kita harus berpisah …!”
Kata kata Lia terhenti sejenak, ia menelan ludahnya yang terasa pahit. Berpisah? Ia terkejut mendengar kata-katanya sendiri. Burhan telah berbuat banyak untuk dirinya. Lelaki itu telah berani menolak kemauan orang tuanya untuk menikahi perempuan pilihan mereka. Alangkah kecewanya Burhan jika kelak temyata Lia tetap tidak dapat memberikannya anak. Pengorbanan Burhan akan sia-sia.
“Mungkin orang tuamu benar bahwa aku bukan jodohmu. Bahkan aku hanyalah onggokan rumput kering yang membawa sial bagi keluargamu,” desis Lia lemah seakan berbisik kepada dirinya sendiri. Namun telinga Burhan sempat menangkapnya.
“Apa yang kau katakan itu, Lia!” bentak Burhan tiba tiba menghentikan ocehan isterinya itu. “Kepalaku sudah mau pecah menerima semua ini. jangan kau tambah!”
“Maksudku … pikirkan lagi, Bang. Aku sayang kau. Tetapi aku juga kasihan. Mungkin aku … aku tidak bisa memberikan apa-apa bagi keluargamu!”
“Sudahlah, sebaiknya kau tutup saja mulutmu!” hardik Burhan marah. “Diam saja !”
Lia terkejut hingga matanya terbelalak. Baru kali Ini ia mendengar suaminya membentak sekasar itu. Untunglah Burhan cepat tersadar. Diraihnya tangan Lia dan diciumnya.
“Lia, maafkan aku, sayang,” katanya tersedak. “Aku tidak ingin kita saling menyakiti. Tetapi kata-katamu itu terlalu menyudutkan aku. Aku tak tahan. Kau tahu aku tidak mau meninggalkanmu. Aku tidak mau menikah dengan Yusnita. Karena aku mencintaimu. jelas ‘kan?”
“Ya, Bang Bur. Aku bohong. Sebenarnya aku takut kehilangan kau. Oh…!”
Burhan menundukkan kepalanya. Mengecup lembut di kening isterinya itu. Di langit hitam tampak satu-satu bintang mulai berkerlap. Hati Lia pun inuLii tersaput damai.
“Ya, aku akan berobat ke mana saja. Ke tukang urut di perkebunan itu pun aku mau sekarang. Kau sudah berkorban banyak untukku. Aku harus bisa memberikan anak untukmu!”
Tapi …. tiba-tiba Lia memprotes sendiri kata hatinya. Aku memberikan anak ? Ah, selalu saja orang menggunakan kalimat itu : Perempuan memberikan anak ! Benarkah ada perempuan yang mampu memberi anak kepada lelaki yang , menghamilinya ? Bukankah hanya Tuhan yang Maha Empunya dan Dia juga yang punya otoritas mutlak untuk memberi karunia berupa kehidupan, anak atau apa pun ? Jangan salahkan wanita jika tak juga hamil. Salahkan saja Tuhan yang tidak memberi karunia itu!

Bersambung ke Bab 3

9 Juli 2011 - Posted by | Cerpen, Saut Poltak Tambunan |

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar